Kota Cirebon – FKAN News. Kasus foto asusila dengan modus editan kembali menjadi sorotan publik. Puluhan siswi dilaporkan menjadi korban ulah tiga pelaku yang kini ramai diperbincangkan, hingga menimbulkan keresahan para orang tua dan warga sekolah.
Sejumlah orang tua yang ditemui awak media menilai pihak sekolah terkesan lamban, bahkan mencoba menutupi aib demi menjaga nama baik institusi. Salah seorang warga SMA 2 Kota Cirebon yang enggan disebut namanya mengatakan, “Tiga pelaku ini jelas-jelas anak dari SMA 1 satu orang, dan SMA 6 dua orang. Jangan sampai sekolah hanya pura-pura tidak tahu.”
Berdasarkan informasi yang dihimpun, korban sebagian besar merupakan siswi kelas X. Mirisnya, setelah foto-foto diedit, hasilnya justru diperjualbelikan dengan harga Rp10 ribu hingga Rp20 ribu per file. “Namanya anak-anak, tapi ini jelas perbuatan tidak bermoral. Bahkan ada indikasi kelainan perilaku dari para pelaku,” ungkap seorang warga.
Pelaku dari Keluarga Pejabat
Para terduga pelaku berinisial IQ dan AW dari SMA 6 serta VH dari SMA 1. Mereka disebut berasal dari keluarga berada: anak pejabat BUMN, kontraktor, dan ASN. Fakta ini membuat publik geram, lantaran muncul dugaan ada upaya ‘main aman’ agar nama keluarga besar mereka tidak tercoreng.
Wakasek SMA 6, Eka Novianto saat dimintai keterangan menyampaikan bahwa kasus ini sudah lama terjadi. “Kami baru mengetahui belakangan ini, padahal kasus ini sudah sejak April sebelum pelaku menjadi siswa kami,” katanya.
FKAN: Sekolah Jangan Cuci Tangan!
Forum Keadilan Anak Negeri (FKAN) menilai sikap sekolah, terutama SMAN 1 dan SMAN 6, hanya seperti “cuci tangan” dari tanggung jawab. Ketua FKAN, Edi, menegaskan:
“Kasus ini jelas melibatkan siswa mereka. Jangan setelah mencuat ke publik sekolah tiba-tiba berkilah ‘ini kasus lama’ seolah mau lepas tangan. Sebagai lembaga pendidikan, mereka seharusnya satria, jujur mengakui, lalu segera memberi sanksi tegas. Jangan hanya memikirkan nama baik sekolah, sementara perasaan korban dan keluarganya diabaikan.”
Edi menambahkan, sekolah favorit seperti SMAN 1 dan SMAN 6 punya tanggung jawab moral yang lebih besar. Mengeluarkan atau memberhentikan para pelaku harus menjadi pilihan tegas, agar ada efek jera sekaligus melindungi anak-anak lain dari korban berikutnya.
FKAN juga siap memberikan bantuan hukum melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan pengacara pendamping jika para korban ingin menempuh jalur hukum. “Kami tidak ingin kasus ini hanya jadi konsumsi media lalu tenggelam. Keadilan untuk korban adalah harga mati,” tegasnya.
Reno: Jangan Korbankan Nama Baik Saja
Hal senada disampaikan Reno, Ketua LBH Buana Caruban Nagari. Ia menegaskan, pihak sekolah tidak boleh berlindung di balik alasan menjaga reputasi.
“Kasus ini bukan hanya soal nama baik sekolah. Ada anak-anak yang hancur masa depannya, ada orang tua yang menangis, ada kepercayaan publik yang dirusak. Kalau sekolah hanya berupaya menutupi, itu artinya mereka ikut menjadi bagian dari persoalan,” ujarnya.
Dalam konteks ini, SMAN 1 dan SMAN 6 tidak boleh hanya berperan sebagai penonton atau sekadar memberi klarifikasi normatif. Mereka wajib bertindak sebagai institusi pendidikan yang berani mengambil sikap tegas. Jika tidak, publik akan menilai sekolah hanya pandai cuci tangan, sementara korban dibiarkan menanggung beban sendirian.
0 Comments
Posting Komentar