Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Wajah Politik Indonesia Pasca Orde Baru: Antara Demokratisasi dan Politik Instan

| 0 Views Last Updated: 2025-09-19T23:18:41Z

 


oleh:
H. Suryana
Ketua Dewan Pembina Forum Keadilan Anak Negeri (FKAN)


Tumbangnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto pada 1998 menjadi titik balik penting dalam sejarah politik Indonesia. Reformasi membuka keran demokrasi seluas-luasnya, ditandai dengan lahirnya puluhan partai politik baru yang membawa harapan akan terciptanya sistem politik yang lebih sehat, terbuka, dan akuntabel. Kehadiran banyak partai kala itu dianggap sebagai simbol kebebasan sekaligus peluang untuk memperkuat basis representasi rakyat.


Namun, di balik euforia demokratisasi, dinamika yang muncul tidak sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Sebagian besar aktor politik pasca reformasi justru masih didominasi oleh wajah-wajah lama dari era Orde Baru. Para politisi Golkar, misalnya, banyak yang kemudian bermigrasi ke partai baru, atau membangun partai baru dengan baju berbeda. Hal ini mencerminkan adanya kesinambungan budaya politik lama di tengah tuntutan perubahan.


Kapital Politik dan Orientasi Kekuasaan

Dalam praktiknya, para politisi bergerak dengan modal (kapital) yang beragam: kapital politik, kapital finansial, kapital intelektual, maupun kapital jaringan. Mereka yang berangkat dengan basis idealisme berusaha menjadikan politik sebagai sarana aktualisasi gagasan dan perjuangan nilai. Namun, tidak sedikit pula yang memandang politik hanya sebagai jalan pintas untuk mencapai kepentingan pragmatis, baik pribadi maupun kelompok. Orientasi transaksional inilah yang memperkuat citra negatif politik di mata publik.


Fenomena lain yang tak kalah mengkhawatirkan adalah maraknya politisi instan, atau kerap disebut “kader karbitan.” Mereka muncul tanpa basis kapasitas organisasi, rekam jejak intelektual, maupun jaringan sosial yang memadai. Kehadiran kelompok ini sering kali justru dipromosikan oleh elit partai sebagai vote getter semata, bukan karena kualitas atau visi kebangsaan yang jelas.


Ambiguitas dalam Parlemen dan Pemerintahan

Kehadiran politisi instan tersebut melahirkan ambiguitas dalam tubuh parlemen maupun pemerintahan. Publik kesulitan menemukan pijakan moral dan intelektual yang kokoh dari wakil rakyat maupun pejabat publik yang seharusnya menjadi garda depan demokrasi. Partai politik yang seharusnya berfungsi sebagai kawah candradimuka kader bangsa justru lebih sering tampil pragmatis dalam perekrutan anggota. Akibatnya, wajah partai hari ini masih jauh dari ideal sebagai pilar demokrasi yang berintegritas.


Penutup

Demokratisasi pasca Orde Baru memang berhasil membuka ruang kebebasan politik yang lebih luas, tetapi juga menghadirkan tantangan serius. Ketika partai-partai masih memberi ruang besar bagi politisi bermental instan, demokrasi akan terus diwarnai praktik transaksional dan kehilangan orientasi substantifnya. Jika hal ini tidak segera dibenahi, maka rumah besar demokrasi Indonesia hanya akan menjadi arena perebutan kepentingan jangka pendek, bukan wahana perjuangan kepentingan rakyat.

×
Berita Terbaru Update