Cirebon, FKAN News – Wacana dugaan munculnya laporan pertanggungjawaban (SPJ) fiktif atau bodong dalam implementasi Peraturan Wali Kota (Perwali) No.5 Tahun 2025 kembali mencuat. Sorotan terutama tertuju pada Pasal 18 dan Pasal 23 yang dinilai rawan diselewengkan bila tidak diawasi dengan ketat.
Praktisi hukum Bung Iva Sembiring menegaskan bahwa secara akuntabilitas maupun moral, pimpinan dan anggota DPRD Kota Cirebon wajib mempertanggungjawabkan setiap rupiah uang rakyat yang bersumber dari APBD.
“Semua anggaran yang direalisasikan harus dipertanggungjawabkan dengan bukti sah seperti kuitansi, nota, faktur, bukti pembayaran pajak maupun dokumen lainnya. Jangan sampai ada konspirasi yang berakhir pada dugaan SPJ fiktif,” ujarnya mengingatkan.
Nada kritis juga datang dari warga. BN Tenggara, salah seorang warga Cirebon, menilai kebobrokan pengelolaan keuangan daerah sudah terlihat dari berbagai sektor. Mulai dari kebocoran PAD lewat distribusi parkir dan penyewaan lahan parkir, hingga penarikan pajak iklan dan PBB yang tidak transparan.
“Dana hibah miliaran rupiah tiap tahun juga tidak jelas arahnya. Sementara tunjangan DPRD begitu besar, jauh dari rasa empati pada masyarakat menengah ke bawah,” ungkapnya.
Di tengah situasi ini, muncul pula isu tunjangan ASN/PNS bakal dipangkas dengan alasan efisiensi anggaran. Menurut BN Tenggara, kebijakan ini tidak adil dan justru semakin memperlihatkan ketidakberpihakan Pemkot pada masyarakat umum.
“Kebijakan yang diambil wali kota semestinya pro-rakyat, bukan kebijakan konyol yang merugikan masyarakat sekaligus pemerintah itu sendiri,” tandasnya.
Pandangan berbeda disampaikan Bung Yus, tokoh masyarakat Cirebon. Ia menilai polemik saat ini tidak terlepas dari dinamika politik.
“Tidak ada yang mustahil dalam politik. Teman bisa jadi lawan, lawan bisa jadi teman. Pepatah Jawa menyebut nulung mentung,” katanya. Menurutnya, bisa saja ada pihak yang memang sedang memainkan agenda terselubung untuk menjatuhkan marwah Pemkot.
Sementara itu, Suryana, tokoh masyarakat lain, menekankan pentingnya komunikasi pemimpin dengan rakyat.
“Kami sudah berdiskusi dan memberi masukan, tapi kalau dianggap angin lalu itu hak pemimpin. Namun masyarakat juga berhak menempuh jalur legal standing publik. Itu harus dihormati,” jelasnya.
Nada lebih tegas datang dari Bambang Arif, eksekutif Control Independen Strategic (CIS) sekaligus mantan tim sukses Media Center Effendi Edo.
“Jangan salahkan masyarakat bila nanti bergerak dengan Petisi Rakyat Kota Cirebon Tidak Percaya pada Wali Kota. Semua polemik yang terjadi saat ini adalah tanggung jawab wali kota,” tegasnya.
Dari kalangan akademisi, Gunadi Rasta, dosen hukum Universitas Swadaya Gunung Jati (UGJ) Cirebon, mengingatkan bahaya kebijakan politik balas budi.
“Kebijakan balas budi hanya menimbulkan kontraproduktif. Jangan menunggu rakyat marah,” katanya. Ia menambahkan, kebijakan yang dijalankan saat ini masih merupakan hasil program kerja 2024, bukan murni agenda wali kota dan wakil wali kota yang baru dilantik 20 Februari 2025.
“Kami menunggu pembuktian program kerja pro-rakyat yang benar-benar orisinil di tahun 2026 mendatang,” pungkasnya.